Tema : Partisipasi pemuda disabilitas dalam kebijakan dan Peran pemerintah dalam Pelaksanaan UNCRPD di Indonesia.
Jaminan Aksesibilitas oleh
Pemerintah? Adakah?
Negara,
Pemerintah, Organisasi, dan Masyarakat mengemban kewajiban yang sama, yaitu
untuk menghormati dan melindungi hak asasi manusia pada setiap manusia tanpa
ada pengecualian untuk kaum Disabilitas. Kewajiban untuk menghormati hak asasi
manusia tercermin dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 yang menjiwai keseluruhan pasal dalam batang tubuhnya, terutama yang
berkaitan dengan persamaan kedudukan warga negara dalam hukum dan pemerintahan,
hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak, kemerdekaan berserikat dan
berkumpul, hak untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan, kebebasan
memeluk agama dan untuk beribadat sesuai dengan agama dan kepercayaannya itu,
serta hak untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran Ini berarti bahwa Hak
Asasi Manusia dapat menjadi tolak ukur dalam mewujudkan persamaan kesempatan
dalam berbagai aspek kehidupan, terutama bidang pendidikan (education),
pekerjaan (employment), Kesehatan (health) serta dalam aksesibilitas
(accessibility) sarana dan prasarana umum.
Definisi
Penyandang Disabilitas dan Aksesibilitas Penyandang Disabilitas Menurut
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Disabilitas menjelaskan bahwa Disabilitas
adalah setiap orang yang mempunyai
kelainan fisik dan / atau mental, yang dapat mengganggu atau merupakan
rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan secara selayaknya. Sedangkan
yang dimaksud Aksesibilitas dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 adalah
kemudahan yang disediakan bagi Disabilitas guna mewujudkan kesamaan kesempatan
dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan
Penyandang
Disabilitas terdiri dari tiga kelompok, yaitu :
- Penyandang Disabilitas fisik, meliputi :
- Disabilitas tubuh ( tuna daksa ).
- Disabilitas netra ( tuna netra ).
- Disabilitas tuna wicara/rungu.
- Disabilitas bekas penderita penyakit kronis ( tuna daksa lara kronis ).
2. Penyandang Disabilitas mental,
meliputi :
- Disabilitas mental ( tuna grahita ).
- Disabilitas eks psikotik ( tuna laras ).
3. Disabilitas fisik dan mental atau
Disabilitas ganda.
Aksesibilitas
(accessibility) merupakan hal penting untuk dapat mewujudkan kesamaan kesempatan
dalam berbagai aspek kehidupan yang bermasyarakat. Saat ini banyak orang yang
mulai tidak peduli dengan keberadaan kaum Disabilitas. Contohnya saja, walaupun
sudah ada jaminan dari Pemerintah secara tertulis didalam Undang-Undang Dasar
(UUD) Negara Republik Indonesia, tentang hak-hak para Disabilitas dalam
memperoleh kemudahan aksesibilitas (accessibility). Tetapi bila ditelisik lebih
lanjut, implementasi tersebut belumlah direalisasikan secara sempurna.
Pasalnya, masih banyak bangunan-bangunan, jalan-jalan umum, stasiun, terminal
dan tempat umum lainnya yang belum dilengkapi dengan kebutuhan khusus untuk
para Disabilitas. Kebutuhan khusus itu harus benar-benar diupayakan dengan serius
agar kesejahteraan para Disabilitas dapat tercapai.
Menurut
Kepala Seksi Rehabilitasi Sosial, Dinsos DKI Jakarta tahun 2008, Sri Utami,
mengatakan jumlah penyandang Disabilitas di DKI Jakarta ada sekitar 21 ribu
orang, baik berada di komunitas maupun di panti-panti asuhan. (sumber :
http://www.beritajakarta.com/2008/id/berita_detail.asp?nNewsId=44889) .
Sementara, Pusat Data dan Informasi Kementerian Sosial tahun 2010 mencatat
jumlah penyandang Disabilitas di Indonesia mencapai 11.580.117 orang. Jumlah
tersebut terdiri dari tuna netra 3,6 juta orang, tuna daksa 3 juta orang, tuna
rungu 2,5 juta orang, cacat mental 1,4 juta orang dan cacat kronis 1,6 juta
orang. Namun, data yang dimiliki dinilai belum akurat dan terpercaya, khususnya
mengenai keberadaan dan tingkat disabilitas. Ada beberapa faktor yang merupakan
kendala dalam upaya pendataan ini selain masalah teknis tentunya, yaitu faktor
ketidakterbukaan/kejujuran dari masyarakat, terutama untuk keluarga yang
memiliki anggota penyandang Disabilitas mental. Sebagian dari mereka berpikir
bahwa, adalah hal yang tabu bagi mereka untuk mengungkapkan tentang anggota
keluarganya yang Disabilitas. (sumber
: http://www.mediaindonesia.com/read/2012/09/19/349561/293/14/Muhaimin-Perluas-Kesempatan-Kerja-bagi-Penyandang-Disabilitas).
Namun
permasalahan yang masih terjadi hingga kini adalah banyak institusi pemerintah
terkait yang belum/kurang mengetahui tentang UU tentang Aksesibilitas, sehingga
dikhawatirkan dapat menjadi hambatan dalam pencapaian kesejahteraan para
Disabilitas. Implementasi dari UU tersebut juga masih belum sesuai dengan
harapan para Disabilitas. Bagaimana tidak, untuk mencari tempat parkir khusus
Disabilitas Daksa saja masih sulit ditemui, khususnya untuk di Jakarta. Betapa
sulit seorang Disabilitas mendapatkan hak akses fasilitas – fasilitas public,
peran politik, akses ketenagakerjaan, perlindungan hukum, akses pendidikan,
akses informasi dan komunikasi, serta layanan kesehatan. Fasilitas lalu lintas
jalan dan alat transportasi umum di Indonesia tidak mudah di akses oleh para Disabilitas
dan orang-orang berkebutuhan khusus lainnya ( wanita hamil dan lansia ). Seorang
Disabilitas daksa jg sulit menyeberang jalan ketika menggunakan fasilitas
penyeberang jalan dengan undakan tangga yang terlalu banyak dan terlalu sempit.
Seorang Disabilitas netra akan merasa kesulitan untuk menyimak marka-marka
jalan dan papan informasi umum. Serta sikap masyarakat yang diskriminatif bagi
para penyandang Disabilitas, salah satunya terjadi pada pelayanan perbankan.
Seorang tunanetra tidak dapat secara mandiri melakukan transaksi. Tunanetra
tidak dapat melakukan transaksi perbankan, karena dianggap tidak cakap hukum.
Oleh karena itu, harus menguasakan kepada orang lain (yang bukan tunanetra) dan
pemberian kuasa tersebut harus disahkan notaris.
Aksesibilitas
di bidang pendidikan bagi para Disabilitas masih sangat kurang. Kemampuan pemerintah
dalam menyediakan fasilitas untuk menjangkau semua anak disabilitas cenderung
minim, karena 80 % tempat pendidikan dikelola swasta sementara pemerintah hanya
20 %. Dari 1,3 juta anak Disabilitas usia sekolah di Indonesia, baru 3,7 % atau
sebanyak 48.022 anak yang bisa menikmati bangku pendidikan. Sementara yang 96,3
% masuk dalam pendidikan non-formal, tetapi jumlahnya tidak lebih dari 2 %.
Saat ini terdapat 1.338 sekolah luar biasa ( SLB ) untuk berbagai jenis dan
jenjang disabilitasnya. Sementara jumlah siswa yang terdaftar di Direktorat
Pendidikan Luar Biasa sebanyak 12.408 anak.
(sumber : http://darahapsari92.blog.com/jaminan-aksesibilitas-bagi-penyandang-cacat-oleh-negara-indonesia/#_ftn38). Kesulitan
dalam mendapatkan akses pendidikan dan pelatihan, mengakibatkan akses untuk
memperoleh pendidikan juga tidak mudah.
Sebagai
Warga Negara Indonesia, penyandang Disabilitas mempunyai kedudukan, hak dan
kewajiban yang sama. Namun, negara memiliki kewajiban untuk memenuhi HAM bagi Disabilitas,
hal tersebut tercermin dalam Pasal 34
ayat (2) UUD 1945 dan UU No 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 41,
42 dan 54.
“Pasal 34 ayat (2) UUD 1945 yang
berbunyi : Negara mengembangkan system jaminan social bagi seluruh rakyat dan
memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat
kemanusiaan”
UU No 39 tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia Pasal 41, 42 dan 54, sbb :
Pasal 41
:
- Setiap warga negara berhak atas jaminan social yang dibutuhkan untuk hidup layak serta untuk perkembangan pribadinya secara utuh.
- Setiap penyandang cacat, orang yang berusia lanjut, wanita hamil, dan anak-anak, berhak memperoleh kemudahan dan perlakukan khusus.
Pasal 42
:
“
Setiap warga negara yang berusia lanjut, cacat fisik dan atau cacat mental
berhak memperoleh perawatan, pendidikan, pelatihan, dan bantuan khusus atau
biaya negara, untuk menjamin kehidupan yang layak sesuai dengan martabat
kemanusiaannya, meningkatkan rasa percaya diri, dan kemampuan berpartisipasi
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. “
Pasal 54 :
“
Setiap anak yang cacat fisik dan atau mental berhak memperoleh perawatan,
pendidikan, pelatihan, dan bantuan khusus atau biaya negara, untuk menjamin
kehidupannya sesuai dengan martabat kemanusiaan, meningkatkan rasa percaya
diri, dan kemampuan berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara. “
Sedangkan,
Acuan Hukum untuk bidang Aksesibilitas tercantum dalam berbagai peraturan
perundang-undangan yang memberikan jaminan aksesibilitasi bagi Disabilitas ,
sebagai berikut :
Amandemen IV UUD 1945, Pasal 28 D
ayat (1) :
“
Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum
yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. “
UU No 6 Tahun 1974 tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial, Pasal 1 :
“
Setiap warganegara berhak atas taraf kesejahteraan social yang sebaik-baiknya
dan berkewajiban untuk sebanyak mungkin ikut serta dalam usaha kesejahteraan
sosial. “
UU No 13 Tahun 1992 tentang
Perkeretaapian, Pasal 35 (1) :
“
Penderita cacat dan/ orang sakit berhak memperoleh pelayanan berupa perlakuan
khusus dalam bidang angkutan kereta api. “
UU No 14 Tahun 1992 tentang Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan, Pasal 49 (1) :
“
Penderita cacat berhak memperoleh pelayanan berupa perlakuan khusus dalam
bidang lalu lintas dan angkutan jalan.
UU No 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia, Pasal 42
:
“
Setiap warga negara yang berusia lanjut, cacat fisik dan atau cacat mental
berhak memperoleh perawatan, pendidikan, pelatihan, dan bantuan khusus atas
biaya negara, untuk menjamin kehidupan yang layak sesuai dengan martabat
kemanusiaannya, meningkatkan rasa percaya diri, dan kemampuan berpartisipasi
dalam kehidupan bemasyarakat, berbangsa, dan bernegara.”
Ada berbagai permasalahan yang
dihadapi pemerintah dalam mewujudkan Hak Asasi Manusia dan Aksesibilitas secara
menyeluruh. Masalah tersebut harus bisa segera diselesaikan. Karena jika tidak,
hal tersebut akan sangat mempengaruhi kesejahteraan dalam pencapaian inklusifitas
untuk para Disabilitas, dan juga dapat mempengaruhi tingkat efektifitas
Disabilitas itu sendiri.
Solusi yang ditawarkan dalam hal ini
adalah dengan :
1.
Pemberdayaan
penyandang disabilitas, seperti mengadakan pelatihan/pendidikan/keterampilan,
lalu diberdayakan menjadi disabilitas yang mampu mandiri.
2.
Pemberian
surat edaran resmi kepada pemerintah daerah terkait kewajiban izin membangun
bangunan umum harus dengan pemenuhan aksesibilitas untuk disabilitas. Sehingga
bangunan umum yang baru sudah tidak perlu ada renovasi untuk aksesibilitas. Dan
juga perlu adanya sanksi bila melanggarnya.
3.
Pemberian
penyuluhan (seminar) terkait masalah diskriminasi HAM dan aksesibilitas di
kalangan pengusaha dan masyarakat, guna memberi kemudahan dalam hal
aksesibilitas, dan memberi kesadaran terhadap kesamaan kesempatan untuk
bersosialisasi.
4.
Pembaharuan
dalam fasilitas umum, seperti jalan untuk khusus pengguna kursi roda, atau
dengan dibuat tanda-tanda jalan untuk tuna netra, atau bisa juga semacam
penambahan pegawai perorangan yang khusus dipekerjakan untuk disabilitas dalam
pelayanan umum.
Dalam pencapaiannya, tidak hanya
pemerintah yang bertanggung jawab, namun masyarakat luas pun harus ikut serta
dalam mewujudkan segala harapan para disabilitas untuk menjadikan Indonesia
sebagai Negara yang mempunyai aksesibilitas tinggi untuk para disabilitas.
Nama : Risna
Marliani
Alamat : Kutabumi,
Tangerang
No. HP : 08567506097
Email : risna.marliani@gmail.com
Jenis Disabilitas : Amputasi
kaki kiri
0 komentar:
Posting Komentar