Translate

EnglishFrenchGermanSpainItalianDutch

RussianPortugueseJapaneseKoreanArabic Chinese Simplified

Kamis, 14 Februari 2013

Partisipasi pemuda disabilitas dalam kebijakan dan Peran pemerintah dalam Pelaksanaan UNCRPD di Indonesia.


Tema : Partisipasi pemuda disabilitas dalam kebijakan dan Peran pemerintah dalam Pelaksanaan UNCRPD di Indonesia.
 
Jaminan Aksesibilitas oleh Pemerintah? Adakah?
Negara, Pemerintah, Organisasi, dan Masyarakat mengemban kewajiban yang sama, yaitu untuk menghormati dan melindungi hak asasi manusia pada setiap manusia tanpa ada pengecualian untuk kaum Disabilitas. Kewajiban untuk menghormati hak asasi manusia tercermin dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menjiwai keseluruhan pasal dalam batang tubuhnya, terutama yang berkaitan dengan persamaan kedudukan warga negara dalam hukum dan pemerintahan, hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak, kemerdekaan berserikat dan berkumpul, hak untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan, kebebasan memeluk agama dan untuk beribadat sesuai dengan agama dan kepercayaannya itu, serta hak untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran Ini berarti bahwa Hak Asasi Manusia dapat menjadi tolak ukur dalam mewujudkan persamaan kesempatan dalam berbagai aspek kehidupan, terutama bidang pendidikan (education), pekerjaan (employment), Kesehatan (health) serta dalam aksesibilitas (accessibility) sarana dan prasarana umum.
Definisi Penyandang Disabilitas dan Aksesibilitas Penyandang Disabilitas Menurut Undang-undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Disabilitas menjelaskan bahwa Disabilitas  adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan / atau mental, yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan secara selayaknya. Sedangkan yang dimaksud Aksesibilitas dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 adalah kemudahan yang disediakan bagi Disabilitas guna mewujudkan kesamaan kesempatan dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan
Penyandang Disabilitas terdiri dari tiga kelompok, yaitu :
  1. Penyandang Disabilitas fisik, meliputi :
    1. Disabilitas tubuh ( tuna daksa ).
    2. Disabilitas netra ( tuna netra ).
    3. Disabilitas tuna wicara/rungu.
    4. Disabilitas bekas penderita penyakit kronis ( tuna daksa lara kronis ).
2.      Penyandang Disabilitas mental, meliputi :
    1. Disabilitas mental ( tuna grahita ).
    2. Disabilitas eks psikotik ( tuna laras ).
3.      Disabilitas fisik dan mental atau Disabilitas ganda.
Aksesibilitas (accessibility) merupakan hal penting untuk dapat mewujudkan kesamaan kesempatan dalam berbagai aspek kehidupan yang bermasyarakat. Saat ini banyak orang yang mulai tidak peduli dengan keberadaan kaum Disabilitas. Contohnya saja, walaupun sudah ada jaminan dari Pemerintah secara tertulis didalam Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia, tentang hak-hak para Disabilitas dalam memperoleh kemudahan aksesibilitas (accessibility). Tetapi bila ditelisik lebih lanjut, implementasi tersebut belumlah direalisasikan secara sempurna. Pasalnya, masih banyak bangunan-bangunan, jalan-jalan umum, stasiun, terminal dan tempat umum lainnya yang belum dilengkapi dengan kebutuhan khusus untuk para Disabilitas. Kebutuhan khusus itu harus benar-benar diupayakan dengan serius agar kesejahteraan para Disabilitas dapat tercapai.
Menurut Kepala Seksi Rehabilitasi Sosial, Dinsos DKI Jakarta tahun 2008, Sri Utami, mengatakan jumlah penyandang Disabilitas di DKI Jakarta ada sekitar 21 ribu orang, baik berada di komunitas maupun di panti-panti asuhan. (sumber : http://www.beritajakarta.com/2008/id/berita_detail.asp?nNewsId=44889) . Sementara, Pusat Data dan Informasi Kementerian Sosial tahun 2010 mencatat jumlah penyandang Disabilitas di Indonesia mencapai 11.580.117 orang. Jumlah tersebut terdiri dari tuna netra 3,6 juta orang, tuna daksa 3 juta orang, tuna rungu 2,5 juta orang, cacat mental 1,4 juta orang dan cacat kronis 1,6 juta orang. Namun, data yang dimiliki dinilai belum akurat dan terpercaya, khususnya mengenai keberadaan dan tingkat disabilitas. Ada beberapa faktor yang merupakan kendala dalam upaya pendataan ini selain masalah teknis tentunya, yaitu faktor ketidakterbukaan/kejujuran dari masyarakat, terutama untuk keluarga yang memiliki anggota penyandang Disabilitas mental. Sebagian dari mereka berpikir bahwa, adalah hal yang tabu bagi mereka untuk mengungkapkan tentang anggota keluarganya yang Disabilitas. (sumber : http://www.mediaindonesia.com/read/2012/09/19/349561/293/14/Muhaimin-Perluas-Kesempatan-Kerja-bagi-Penyandang-Disabilitas).
Namun permasalahan yang masih terjadi hingga kini adalah banyak institusi pemerintah terkait yang belum/kurang mengetahui tentang UU tentang Aksesibilitas, sehingga dikhawatirkan dapat menjadi hambatan dalam pencapaian kesejahteraan para Disabilitas. Implementasi dari UU tersebut juga masih belum sesuai dengan harapan para Disabilitas. Bagaimana tidak, untuk mencari tempat parkir khusus Disabilitas Daksa saja masih sulit ditemui, khususnya untuk di Jakarta. Betapa sulit seorang Disabilitas mendapatkan hak akses fasilitas – fasilitas public, peran politik, akses ketenagakerjaan, perlindungan hukum, akses pendidikan, akses informasi dan komunikasi, serta layanan kesehatan. Fasilitas lalu lintas jalan dan alat transportasi umum di Indonesia tidak mudah di akses oleh para Disabilitas dan orang-orang berkebutuhan khusus lainnya ( wanita hamil dan lansia ). Seorang Disabilitas daksa jg sulit menyeberang jalan ketika menggunakan fasilitas penyeberang jalan dengan undakan tangga yang terlalu banyak dan terlalu sempit. Seorang Disabilitas netra akan merasa kesulitan untuk menyimak marka-marka jalan dan papan informasi umum. Serta sikap masyarakat yang diskriminatif bagi para penyandang Disabilitas, salah satunya terjadi pada pelayanan perbankan. Seorang tunanetra tidak dapat secara mandiri melakukan transaksi. Tunanetra tidak dapat melakukan transaksi perbankan, karena dianggap tidak cakap hukum. Oleh karena itu, harus menguasakan kepada orang lain (yang bukan tunanetra) dan pemberian kuasa tersebut harus disahkan notaris.
Aksesibilitas di bidang pendidikan bagi para Disabilitas masih sangat kurang. Kemampuan pemerintah dalam menyediakan fasilitas untuk menjangkau semua anak disabilitas cenderung minim, karena 80 % tempat pendidikan dikelola swasta sementara pemerintah hanya 20 %. Dari 1,3 juta anak Disabilitas usia sekolah di Indonesia, baru 3,7 % atau sebanyak 48.022 anak yang bisa menikmati bangku pendidikan. Sementara yang 96,3 % masuk dalam pendidikan non-formal, tetapi jumlahnya tidak lebih dari 2 %. Saat ini terdapat 1.338 sekolah luar biasa ( SLB ) untuk berbagai jenis dan jenjang disabilitasnya. Sementara jumlah siswa yang terdaftar di Direktorat Pendidikan Luar Biasa sebanyak 12.408 anak. (sumber : http://darahapsari92.blog.com/jaminan-aksesibilitas-bagi-penyandang-cacat-oleh-negara-indonesia/#_ftn38). Kesulitan dalam mendapatkan akses pendidikan dan pelatihan, mengakibatkan akses untuk memperoleh pendidikan juga tidak mudah.
Sebagai Warga Negara Indonesia, penyandang Disabilitas mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang sama. Namun, negara memiliki kewajiban untuk memenuhi HAM bagi Disabilitas, hal tersebut tercermin dalam Pasal 34 ayat (2) UUD 1945 dan UU No 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 41, 42 dan 54.
Pasal 34 ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi : Negara mengembangkan system jaminan social bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan”
UU No 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 41, 42 dan 54, sbb :
Pasal 41 :
  1. Setiap warga negara berhak atas jaminan social yang dibutuhkan untuk hidup layak serta untuk perkembangan pribadinya secara utuh.
  2. Setiap penyandang cacat, orang yang berusia lanjut, wanita hamil, dan anak-anak, berhak memperoleh kemudahan dan perlakukan khusus.
Pasal 42 :
“ Setiap warga negara yang berusia lanjut, cacat fisik dan atau cacat mental berhak memperoleh perawatan, pendidikan, pelatihan, dan bantuan khusus atau biaya negara, untuk menjamin kehidupan yang layak sesuai dengan martabat kemanusiaannya, meningkatkan rasa percaya diri, dan kemampuan berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. “
Pasal 54 :
“ Setiap anak yang cacat fisik dan atau mental berhak memperoleh perawatan, pendidikan, pelatihan, dan bantuan khusus atau biaya negara, untuk menjamin kehidupannya sesuai dengan martabat kemanusiaan, meningkatkan rasa percaya diri, dan kemampuan berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. “
            Sedangkan, Acuan Hukum untuk bidang Aksesibilitas tercantum dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang memberikan jaminan aksesibilitasi bagi Disabilitas , sebagai berikut :
Amandemen IV UUD 1945, Pasal 28 D ayat (1) :
“ Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. “
UU No 6 Tahun 1974 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial, Pasal 1 :
“ Setiap warganegara berhak atas taraf kesejahteraan social yang sebaik-baiknya dan berkewajiban untuk sebanyak mungkin ikut serta dalam usaha kesejahteraan sosial. “
UU No 13 Tahun 1992 tentang Perkeretaapian, Pasal 35 (1) :
“ Penderita cacat dan/ orang sakit berhak memperoleh pelayanan berupa perlakuan khusus dalam bidang angkutan kereta api. “
UU No 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Pasal 49 (1) :
“ Penderita cacat berhak memperoleh pelayanan berupa perlakuan khusus dalam bidang lalu lintas dan angkutan jalan.
UU No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 42 :
“ Setiap warga negara yang berusia lanjut, cacat fisik dan atau cacat mental berhak memperoleh perawatan, pendidikan, pelatihan, dan bantuan khusus atas biaya negara, untuk menjamin kehidupan yang layak sesuai dengan martabat kemanusiaannya, meningkatkan rasa percaya diri, dan kemampuan berpartisipasi dalam kehidupan bemasyarakat, berbangsa, dan bernegara.”
           
Ada berbagai permasalahan yang dihadapi pemerintah dalam mewujudkan Hak Asasi Manusia dan Aksesibilitas secara menyeluruh. Masalah tersebut harus bisa segera diselesaikan. Karena jika tidak, hal tersebut akan sangat mempengaruhi kesejahteraan dalam pencapaian inklusifitas untuk para Disabilitas, dan juga dapat mempengaruhi tingkat efektifitas Disabilitas itu sendiri.
           
Solusi yang ditawarkan dalam hal ini adalah dengan :
1.      Pemberdayaan penyandang disabilitas, seperti mengadakan pelatihan/pendidikan/keterampilan, lalu diberdayakan menjadi disabilitas yang mampu mandiri.
2.      Pemberian surat edaran resmi kepada pemerintah daerah terkait kewajiban izin membangun bangunan umum harus dengan pemenuhan aksesibilitas untuk disabilitas. Sehingga bangunan umum yang baru sudah tidak perlu ada renovasi untuk aksesibilitas. Dan juga perlu adanya sanksi bila melanggarnya.
3.      Pemberian penyuluhan (seminar) terkait masalah diskriminasi HAM dan aksesibilitas di kalangan pengusaha dan masyarakat, guna memberi kemudahan dalam hal aksesibilitas, dan memberi kesadaran terhadap kesamaan kesempatan untuk bersosialisasi.
4.      Pembaharuan dalam fasilitas umum, seperti jalan untuk khusus pengguna kursi roda, atau dengan dibuat tanda-tanda jalan untuk tuna netra, atau bisa juga semacam penambahan pegawai perorangan yang khusus dipekerjakan untuk disabilitas dalam pelayanan umum.

Dalam pencapaiannya, tidak hanya pemerintah yang bertanggung jawab, namun masyarakat luas pun harus ikut serta dalam mewujudkan segala harapan para disabilitas untuk menjadikan Indonesia sebagai Negara yang mempunyai aksesibilitas tinggi untuk para disabilitas.

Nama                  :         Risna Marliani
Alamat                :         Kutabumi, Tangerang
No. HP                :         08567506097
Email                  :         risna.marliani@gmail.com
Jenis Disabilitas :         Amputasi kaki kiri

0 komentar:

Posting Komentar