Translate

EnglishFrenchGermanSpainItalianDutch

RussianPortugueseJapaneseKoreanArabic Chinese Simplified

Kamis, 07 Juni 2012

HAK AKSESIBILITAS PENYANDANG CACAT

                                   HAK AKSESIBILITAS PENYANDANG CACAT                                            

SMB II DAN AKSESIBILITAS PENYANDANG CACAT


Heru Susetyo, SH. LL.M. M.Si.
Staf Pengajar Fakultas Hukum UI –Depok/
Ketua Dewan Pengurus Pusat Advokasi Hukum dan HAM Indonesia


Sungguh pengalaman menarik menyinggahi terminal baru bandara Sultan Mahmud Badaruddin II (SMB II) Palembang.  Di luar kecanggihan teknologi dan fasilitas mewah yang disediakan,  yang lebih menarik adalah terminal ini diperlengkapi dengan lift khusus dan toilet khusus untuk penyandang cacat.  Artinya,  bandara ini telah mempelopori penyediaan fasilitas ramah penyandang cacat.  Sesuatu yang semestinya menjadi kewajiban pemerintah dan masyarakat Indonesia sejak dahulu.

Sedihnya,  kepeloporan dan penyediaan fasilitas ramah penyandang cacat ini tak mudah ditemui di Indonesia.  Belum banyak tempat-tempat publik yang menyediakan tangga khusus, toilet khusus, informasi khusus, transportasi khusus, ataupun media dan fasilitas lainnya yang dapat diakses oleh penyandang cacat.  Walhasil,  penyandang cacat di Indonesia seperti sudah jatuh tertimpa tangga.  Mereka memiliki keterbatasan fisik atau mental juga dipersulit dengan aksesibilitas terhadap kesempatan dan fasilitas yang minim.
Apa hak-hak para penyandang cacat? Darimana asalnya kewajiban tersebut dan sejauh mana kewajiban pemerintah dan masyarakat dalam menjamin aksesibilitas para penyandang cacat?


Hak-Hak Penyandang Cacat

Undang-undang Indonesia No. 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat  menjelaskan bahwa penyandang cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan/ atau mental, yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan secara selayaknya, yang terdiri dari (a) penyandang cacat fisik; (b) penyandang cacat mental; dan (c) penyandang cacat fisik dan mental.
Definisi di atas tak jauh berbeda dengan definisi dalam Declaration on the Rights of Disabled Persons (1975) yang menegaskan bahwa penyandang cacat (disabled persons) means any person unable to ensure by himself or herself, wholly or partly, the necessities of a normal individual and/or social life, as a result of deficiency, either congenital or not, in his or her physical or mental capabilities.
Undang-undang No. 4 tahun 1997 menegaskan bahwa penyandang cacat merupakan bagian masyarakat Indonesia yang juga memiliki kedudukan, hak, kewajiban, dan peran yang sama. Mereka juga mempunyai hak dan kesempatan yang sama dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan.  Pada pasal 6 dijelaskan bahwa  setiap penyandang cacat berhak memperoleh : (1) pendidikan pada semua satuan, jalur, jenis, dan jenjang pendidikan; (2) pekerjaan dan penghidupan yang layak sesuai jenis dan derajat kecacatan , pendidikan, dan kemampuannya; (3) perlakuan yang sama untuk berperan dalam pembangunan dan menikmati hasil-hasilnya; (4) aksesibilitas dalam rangka kemandiriannya; (5) rehabilitasi, bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial; dan (6) hak yang sama untuk menumbuhkembangkan bakat, kemampuan, dan kehidupan sosialnya, terutama bagi penyandang cacat anak dalam lingkungan keluarga dan masyarakat.

Aksesibilitas Penyandang Cacat

Pemaknaan ‘aksesibilitas’ dalam UU No. 4 tahun 1997 adalah kemudahan yang disediakan bagi penyandang cacat guna mewujudkan kesamaan kesempatan dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan.
Declaration on the Rights of Disabled Persons (1975) menegaskan bahwa penyandang cacat berhak untuk memperoleh upaya-upaya (dari pihak lain) yang memudahkan mereka untuk menjadi mandiri/ tidak tergantung pada pihak lain.  Mereka juga berhak mendapatkan pelayanan medis, psikologis dan fungsional, rehabilitasi medis dan social, pendidikan, pelatihan ketrampilan, konsultasi, penempatan kerja, dan semua jenis pelayanan yang memungkinkan mereka untuk mengembangkan kapasitas dan ketrampilannya secara maksimal sehingga dapat mempercepat proses reintegrasi dan integrasi social mereka.

Selanjutnya,  pasal 5 Standard Rules on the Equalization of Opportunities for Persons with Disabilities 1993 menjelaskan bahwa Negara harus mengakui dan menjamin aksesibilitas para penyandang cacat melalui (1) menetapkan program-program aksi untuk mewujudkan aksesibilitas fisik penyandang cacat, dan (2) melakukan upaya-upaya untuk memberikan akses terhadap informasi dan komunikasi para penyandang cacat.
Untuk mewujudkan langkah tersebut,  negara harus melakukan tindakan-tindakan seperti menghilangkan hambatan-hambatan fisik para penyandang cacat, termasuk dalam hal ini adalah menetapkan kebijakan dan hukum yang mengatur dan menjamin akses penyandang cacat terhadap perumahan, gedung, transportasi publik, jalan dan semua lingkungan fisik lainnya.
Kemudian, negara juga harus menjamin bahwa dalam perencanaan suatu bangunan, konstruksi, dan desain fisik, utamanya yang bersifat publik, adalah mempertimbangkan akses para penyandang cacat dan para perencana pembangunan haruslah memahami kebijakan pembangunan fisik yang ramah terhadap penyandang cacat (disability policy).  Untuk keperluan tersebut,  penyandang cacat harus dilbatkan dalam proses konsultasi perencanaan bangunan.
Aksesibilitas berikutnya adalah akses terhadap informasi dan komunikasi. Penyandang cacat harus mendapatkan akses terhadap informasi yang leluasa tentang diagnosa, hak-hak, dan pelayanan yang mereka terima pada semua tingkatan.  Informasi-informasi tersebut harus dihadirkan dalam format yang dapat diakses oleh penyandang cacat seperti misalnya dalam format huruf braille, pengeras suara, huruf dicetak besar, penggunaan sinyal dan bahasa tubuh (sign language) ataupun dalam bentuk lainnya yang ramah terhadap penyandang tuna netra, tuna rungu, tuna wicara, ataupun penyandang cacat lainnya.
Disamping itu, negara memiliki kewajiban untuk juga menjamin bahwa media massa, utamanya televisi, radio, dan koran, dapat menghadirkan layanan media yang ramah terhadap penyandang cacat.  Termasuk dalam hal ini adalah layanan informasi publik via komputer haruslah juga dapat diakses oleh para penyandang cacat.

Catatan Akhir

Bandara SMB II Palembang adalah satu bentuk kepeloporan yang baik terhadap aksesibilitas penyandang cacat.  Kendati demikian,  pekerjaan belum selesai, bandara ini masih perlu diperlengkapi dengan fasilitas pendukung yang ramah juga untuk penyandang tuna netra seperti informasi dalam bentuk huruf Braille, pengeras suara khusus, dan lain-lain.
Satu contoh menarik adalah bandara Chiang Kai Sek di Taipei, Taiwan.  Bandara ini diperlengkapi dengan museum mini dan counter informasi khusus yang dapat diakses kaum tuna netra dan tuna rungu.  Belum lagi ketersediaan toilet dan lift khusus yang sepertinya sudah merupakan harga mati disana.
Dan,  tidak hanya SMB II dan kota Palembang,  kewajiban menyediakan akses yang sama kepada penyandang cacat adalah kewajiban bersama pemerintah dan masyarakat Indonesia di semua wilayah Indonesia, apakah birokrat, swasta, pendidik, perencana pembangunan, dan lain-lain.
Sudah waktunya kita memikirkan penyediaan akses tersebut sebagai bentuk pengakuan kita akan hak-hak penyandang cacat. Apalagi Indonesia telah juga meratifikasi Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik serta Kovenan Hak-Hak Ekonomi Sosial dan Budaya tahun 2005 yang bersama-sama dengan Undang-Undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia,  adalah bentuk pengakuan dan jaminan Negara terhadap hak-hak penyandang cacat.


Wallahua’lam

0 komentar:

Posting Komentar